Duar, duar. der, doorrr!!! Pernahkan kaget ketika mendengar suara letusan. Bukan letusan tembakan atau bom, tapi ini adalah 'bibit' bom. Ya kalau yang belum pernah merasakan miniatur bom seperti apa bisa dekat-dekat dengan petasan. Atau yang ingin menjadi 'pengantin' seperti awak-awak teroris bisa itu main-main dengan petasan. Bagi saya, petasan adalah awal mula kita memainkan bom. Jujur saya cukup kesal dan emosi ketika mendengar suara petasan yang mengagetkan. Emang sih, tidak ada petasan yang tidak membuat kaget. Jujur ketika kecil saya juga pernah memainkan petasan, sampai saya merasakan ledakan petasan terjadi persis di depan mata, untung saja tidak berakibat fatal. Sejak saat itu saya mengatakan berhenti untuk main-main dengan yang namanya petasan.
Beberapa tahun belakangan ini petasan sudah jadi bahan yang dilarang beredar di masyarakat. Terutama sejak kasus peledakan bom oleh teroris berjubah. Razia demi razia dilakukan pihak keamanan untuk membatasi peredaran petasan, namun tetap saja produksi dan distribusinya berjalan, karena memang tingkat konsumsi petasan masyarakat kita juga tinggi. Konsumsi yang tinggi terhadap petasan ini banyak ditemui dari anak-anak kecil sampai orang dewasa yang memainkan petasan, entah di jalan, di lapangan atau dimana saja ketika mereka punya uang untuk dibelikan. Mereka sepertinya tidak eman-eman membelanjakan uang untuk membeli sebuah petasan, kepuasan terbayarkan ketika melihat suatu ledakan, apalagi kalau bisa membuat orang kaget. Sungguh bagi saya ini benih atau bibit 'pengantin' pelaku terorisme. Karena sedari kecil sudah dibiasakan melihat ledakan dan menjadi eksekutor ledakan serta senang ketika melihat orang lain terkaget-kaget.
Sungguh saya dibuat kesal ketika melihat anak-anak kecil bermain petasan dan meledakannya di sembarang tempat, tergantung kesukaan mereka, setelah itu mereka bersorak kegirangan. Sungguh ironis, padahal di sudut lain ada orang tua atau orang lain yang jantungnya hampir copot mendengar ledakan petasan yang mereka mainkan. Ironis lagi ketika dilakukan di sebuah lapangan dekat dengan tempat ibadah, masjid misalnya. Ketika orang-orang sedang teraweh, eh anak-anak bermain petasan, suara ledakan petasan jelas mengganggu kekhusukan beribadat. Belum lagi nanti setelah shalat hari raya, pasti petasan dibunyikan sembarangan. Padahal ada di masjid lain ada umat yang masih beribadat. Sungguh tindakan yang tak terpuji, namun masih saja dibiarkan atau mungkin dibina.
Pembinaan yang positif harusnya sudah mulai dilakukan di tingkat keluarga, kemudian tingkat yang lebih tinggi masyarakat, bisa melalui ceramah agama atau cara lain yang lebih 'keras' mendidik bahwa bermain petasan itu adalah tindakan yang tidak terpuji. Penggunaan petasan secara sembarangan adalah suatu tindakan yang tidak boleh dilakukan, apalagi oleh anak-anak dibawah umur. Petasan sewajarnya digunakan untuk acara-acara tertentu saja, misalnya diadat Betawi ada penggunaan petasan untuk ritual tertentu, kemudian masyarakat Tionghoa ketika imlek atau acara pernikahan. Di sanalah penggunaan petasan yang dianggap wajar, tidak lebih dari itu, yang justru tak membawa manfaat apa-apa. Paling manfaat keuntungan dari si produsen dan distributor petasan tersebut.
Sudah banyak korban jiwa akibat penggunaan petasan yang salah, dari tingkat konsumen, distributor sampai produsennya. Bahayanya ya meledak, kebakaran, serta korban jiwa bisa saja meninggal atau harus diamputasi. Mengerikan bukan? Sama seperti korban dari ledakan bom. Jadi sekali lagi wajar jika saya mengatakan bahwa petasan adalah bibit dari bom. Malah saya sampai senang melihat korban jiwa pelaku-pelaku petasan, dalam hati berkata, "Syukurin, mampus lu!!!" Apalagi kalau ada yang diamputasi, karena itu imbalan yang cukup agar mereka jera tidak menggunakan petasan untuk kesenangan atau kepuasan sesat.
Penggunaan petasan yang salah lebih dominan ketika menjelang hari raya, atau pas hari raya, kemudian ketika momen tahun baru, bahkan malah har-hari biasa dimana tidak ada momen apa-apa. Mereka pengguna petasan dengan mudah membeli petasan, di kaki lima. Padahal kalau dirazia selalu pedagang berdalih hanya menjual kembang api, tapi nyatanya masih aja ada suara "Duarm der, dor!" dari kejauhan. Kalau kembang api sih semua orang juga tahu dan memang ada suara yang mengagetkan juga, namun masih ada efek keindahan yang bisa dinikmati, dibandingkan petasan yang hanya meledak sesaat dan mengagetkan. Alih-alih berbagi rejeki, tapi efek negatifnya menjalar kesemua orang. Lalu sampai kapan kebiasaan buruk ini akan terus berjalan? Ketegasan pihak keamanan dalam menegakan aturan jadi sangat penting. Selama masih ada petasan beredar, mungkin sumpah serapah untuk korban dari pelaku pemain petasan akan terus terucap. Karena mereka lebih puas atau jera ketika sudah menjadi korban daripada sebelum menjadi korban mereka sadar. Jadi karena itu pilihan anda, rasakan akibatnya bermain petasan. "Mampus saja sekalian meledak bersama petasan yang kamu mainkan!!!"