Pedagang kaki lima (PKL) selalu jadi musuh pemerintah daerah, selama ini begitulah yang terjadi. PKL dan pemerintah daerah tidak pernah bisa sinkron dan bekerja sama dengan baik. Kenapa? Kalau saya menilai karena sudah sejak awalnya hubungan mereka dimulai dari kemasabodohan. PKL memang akar ekonomi masyarakat kecil, mereka ini ibarat rumput liar yang muncul diantara ladang-ladang petani. Rumput-rumput liar ini dianggap mengganggu petani, tapi terkadang rumput-rumput liar yang ada bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak. Intinya menyikapi masalah ini adalah tinggal bagaimana mengelolanya saja.
Saya punya pengamatan tersendiri melihat PKL ini. PKL bisa dikatakan pedagang-pedagang liar yang memanfaatkan tempat seadanya untuk berjualan, PKL ini memanfaatkan peluang yang ada, meski peluang itu melanggar aturan (Perda) yang ada. Sekarang kembali ke pemerintah daerah untuk setiap saat melakukan fungsinya memonitoring perda yang ada apakah berjalan dengan baik atau tidak. Penindakannya bagaimana? Tegas atau tebang pilih? Kalau perda yang ada dijalankan dan sanksi tegas diberikan, maka ini akan menjadi alat untuk manajemen kelola yang baik. Kemudian, selama ini pemerintah daerah hanya mengatur PKL tetapi tidak pernah mengatur si pembeli. Karena PKL itu ada sebenarnya mengikuti pembeli, jika suatu tempat sepi dan tidak ada pembeli, PKL tidak akan menjamur di sana. Tapi jika tempat itu ramai pasti PKL akan menjamur dengan cepat. Sekarang, bisakah pemerintah daerah mengatur pembeli untuk juga tertib?
Saya mengamati dari suatu kota yang sedang berkembang. Biasanya diawali dari sebuah kota yang sepi, baru lama-kelamaan tumbuh menjadi kota yang ramai. Nah ketika kota itu masih sepi, pemerintah daerah harusnya sudah melakukan perecanaan matang, mana saja tempat yang boleh dan layak untuk menjadi tempat berusaha, untuk kalangan rakyat kecil, menengah atau atas. Semua itu harusnya sudah diperhatikan pemerintah daerahsetempat dengan bekal perda yang mereka miliki.
Saya mengamati kota dimana saya dilahirkan, yaitu Kota Cirebon. Terutama di wilayah kecamatan dimana saya tinggal yaitu Kecamatan Harjamukti. Dulu sekali di tahun 1990 daerah dimana saya tinggal sangatlah sepi, tidak banyak warung atau pertokoan atau pedagang kaki lima yang ada di pinggir jalan. Bahkan untuk mencari makanan di warung pinggiran jalan harus pergi ke arah kota, sebagai pusat keramaian kota Cirebon saat itu. Namun seiring perjalanan waktu Kota Cirebon bergeliat dengan pembangunan perumahan terutama di wilayah Kecamatan Harjamukti. Sekarang di tahun 2013, saya amati mulai batas perumnas gunung, yaitu ujung Jalan Ciremai Raya di perempatan By Pass sampai masuk ke arah komplek perumahan Kalijaga kini sudah ramai komplek pertokoan dan warung-warung yang berada di kiri kanan jalan. Bahkan warga perum gunung kalau mau mencari kebutuhan sehari-hari sudah tak perlu lagi pergi jauh ke pusat keramaian kota. Di kiri kanan jalan sekarang sudah diisi pedagang-pedagang yang membuat warung. Pedagang-pedagang inilah yang akan jadi bibit PKL ke depannya, jika pemerintah daerah tidak mau konsentrasi menertibkan dan menatanya. Menertibkan dalam arti pemerintah daerah sudah harus mendata mereka, dan kumpulkan mereka ke dalam suatu kesepakatan, jika suatu saat pemerintah daerah menertibkan atau mengatur, mereka akan dengan sukarela melakukannya tanpa harus ada pemaksaan. Setiap tahun mereka harus diajukan nota kesepakatan yang harus mereka penuhi, karena mereka berdagang di lahan milik publik. Dan setiap enam bulan sekali pemerintah daerah harus mendata mereka secara rutin dan melakukan pembinaan. Dengan cara ini proses monitoring akan berjalan, dan PKL itu sudah sejak awal dididik untuk tertib. Hasil monitoring itu pun pemerintah bisa konsentrasi melindungi usaha PKL dari bentuk-bentuk pemerasan yang mengatasnamakan keamanan oleh preman-preman setempat.
Nah hasil pengamatan saya di area Kecamatan Harjamukti, hal tersebut di atas tidak dilakukan. Pemerintah daerah seakan-akan malas dan menutup mata, dan nanti baru membuka mata ketika sudah ada masalah. Inilah sifat-sifat birokrat yang ada sekarang. Tidak hanya terjadi di kota atau daerah-daerah kecil, tapi sudah sampai ke tataran ibukota, seperti yang dialami DKI Jakarta yang kini sedang berjuang menegakan aturan sebagaimana mestinya. Pemerintah daerah yang niat memperbaiki malah harus menanggung dosa pemerintahan periode-periode sebelumnya. Ya itulah yang terjadi sekarang.
PKL sebenarnya punya kecenderungan memanfaatkan celah kosong yang tidak diperhatikan pemerintah. Mereka sadar bahwa yang dilakukan itu melanggar aturan dan mengganggu kenyamanan publik, tetapi ketika dibenturkan kemata pencaharian mereka dan mereka sudah melakukannya bertahun-tahun mereka akan sulit melepaskan kesalahan mereka itu. Dan malah mereka akan membela diri mati-matian meski mereka melanggar, dan alasan yang diangkat adalah HAM. Meski pemerintah daerah sudah mencoba memindahkan mereka, tetap saja pasti akan ditolak karena alasan mereka sudah punya langganan, atau di tempat yang baru itu sepi, di tempat yang baru tidak layak dan alasan-alasan lain yang membenarkan apa yang mereka lakukan. Hal inilah yang terjadi di DKI Jakarta. Jokowi dan Ahok perlu kreatifitas ditingkat yang lebih tinggi lagi untuk menangani masalah ini. Tanggung jawab pemerintahan Jokowi adalah tetap menegakan perda yang ada dan mengakomodir semua kepentingan. Akhirnya hal yang tadinya mudah menjadi hal yang kompleks dan sulit dilakukan. Andaikan saja, sedari awal pemerintah daerah bertindak seperti yang saya maksudkan tadi di paragraf sebelumnya, pasti mengelola PKL akan lebih baik dan PKL akan jadi aset pemerintah daerah.
Kota Cirebon terutama di wilayah Kecamatan Harjamukti juga akan jadi biang masalah PKL seperti yang dialami DKI Jakarta jika dari sekarang pemerintah daerahnya tidak mau mulai bekerja dengan baik. Kota Cirebon ini punya potensi untuk berkembang menjadi kota yang maju, dan sebelum masa itu tiba proses demi proses awal ini harus dijalani dengan baik, bekerja dengan baik itu kuncinya.
Solusi pemerintah DKI Jakarta menurut saya, adalah mendata semua PKL yang ada, terutama di kawasan yang sedang dibenahi yaitu di Tanah Abang dan Pasar Minggu. Data semua PKL tersebut, bagi per KTP. Setelah data semua dimiliki itu jadi dasar penataan, dan inilah yang memang sedang dilakukan pemda DKI Jakarta. Seperti di Tanah Abang dan Pasar Minggu pun memang sebenarnya sudah disiapkan lokasi baru untuk PKL, namun kembali seperti alasan klasik PKL, karena kembali lagi mereka sudah mendarah daging di lokasi lama, jadi selalu sulit mencoba hal baru. Pemerintah DKI Jakarta juga harus mulai menertibkan pembeli-pembeli, pengguna jalan yang membeli barang dagangan PKL. Mereka calon pembeli dan pembali harus membeli di tempat yang disediakan, dengan alasan ketertiban umum. Dengan begini, pemerintah daerah bertindak mengatur semua pihak, jadi tidak ada ketimpangan, yang ini diatur sedangkan yang lain tidak. Mulailah dengan pemasangan baliho seruan kepada pembeli dan pedagang untuk berjualan dan membeli di tempat yang telah disediakan. Seruan ini dilakukan secara intens di seluruh wilayah, sekaligus menjadi pelajaran buat masyarakat untuk berlaku tertib.
Kemudian, momen lebaran tahun ini adalah momen yang tepat, yakni ketika lebaran, Jakarta akan ditinggalkan pendatang. Nah kebanyakan PKL ini adalah pendatang dari daerah, ketika mereka semua pulang, saatnya pemerintah daerah menertibkan. Lahan-lahan yang biasa digunakan untuk berjualan, ditutup dengan apalah itu yang membuat mereka ketika kembali ke lokasi mendapati kesulitan membuka lapaknya. Ketika nanti ada aksi perusakan terhadap fasilitas publik, pemerintah daerah dan pihak kepolisian tinggal menindak tegas pelaku. Cara ini dilakukan untuk mencegah dan menimbulkan efek jera. Kembali ke lahan publik adalah milik publik dan tidak bisa dikuasai segelintir orang. Saat lahan publik itu kosong atau bebas dari pedagang, pemerintah daerah tinggal membenahinya, dan situasi yang cocok adalah ketika Jakarta ditinggal semua pendatang yang hanya terjadi setahun sekali. Hasil pengamatan saya, ketika lebaran, Jakarta seperti kota sepi, dan inilah situasi Jakarta sebenarnya. Karena penduduk Jakarta kebanyakan ya pendatang dari daerah.
Saya sendiri mengalami dan merasakan cukup terganggu dengan PKL yang tidak tertib. Terutama di Tanah Abang, PKL di sana jadi biang kemacetan luar biasa setiap harinya, disamping itu juga ulah pembeli yang berhenti seenaknya, dan membeli di tempat yang tidak seharusnya, lalu ulah-ulah angkutan kota dan pemilik truk barang yang parkir bongkar muat seenaknya memakan badan jalan. Kemudian hal yang sama juga terjadi di Pasar Minggu. PKL ini sudah jadi sumber keruwetan, kemacetan dan kekotoran. Mereka tidak memperhatikan kebersihan sama sekali. Itulah yang menjadi sumber kekumuhan ibukota.
Semua pihak harus bekerja sama, baik masyarakat yang memanfaatkan jasa PKL, dan PKL itu sendiri yang mencari nafkah pun harus sadar bahwa kepentingan umum diatas segalanya. Masyarakat kita ini masih terlalu egois. Seharusnya ketika sudah hidup bermasyarakat, yang dinomorsatukan adalah kepentingan umum. Sehingga tidak ada lagi alasan yang mengatasnamakan kepentingan pribadi, bahkan untuk alasan HAM sekali pun. Penegak HAM pun harus berpikir hal yang sama, sehingga tidak mudah termakan alasan-alasan yang mengatasnamakan HAM.
Jadi buat daerah yang masih sedang mengalami proses perkembangan dan pertumbuhan, mulailah buka mata, karena permasalahan dikemudian hari haruslah dimulai diselesaikan dari sekarang, saat semuanya masih dini, karena semua perkara besar dimulai dari perkara kecil. Mau atau tidak tergantung semua pihak yang ada, pemerintah daerah, swasta dan masyarakatnya. Sudah banyak contohnya, dan janganlah jadi pemerintah daerah macam keledai yang senang jatuh di lubang yang sama berkali-kali. Saya berharap Kota Cirebon melalui pemerintah daerahnya mau membuka mata, tidak ada kata terlambat untuk berbenah, sekarang atau tidak sama sekali. Memang semuanya tidak mudah, tidak semudah yang diutarakan banyak pengamat, termasuk saya ini, tapi kalau sudah memilih sebagai pemimpin itulah tanggung jawab yang harus dilakukan. Semoga demikian (^_^)?
> Postingan ini juga diposting di Naturality dengan judul yang sama <