Belakangan ini dengan ramainya pemberitaan soal kasus terorisme, nama Densus 88 kembali terkenal. Densus 88 merupakan tim khusus antiteror yang menangani kasus-kasus kejahatan terorisme milik Mabes Polri. Pada intinya, Densus 88 dilibatkan pada kasus kriminal atau kejahatan teror, terutama yang menggunakan senjata api dan bom yang mengancam keamanan masyarakat sipil. Itulah yang sejauh ini saya ketahui mengenai Densus 88.
Kembali soal pemberitaan, Densus 88 ini kalau saya lihat ya, kadang dibela, kadang juga dicaci atau dipertanyakan keprofesionalannya. Saya pernah membuat postingan yang berjudul Melihat Aksi Kontra Terorisme dari Sudut Lain. Di situ saya mencoba memandang Densus 88 dari sisi yang lain, ditengah berbagai pendapat yang menurut saya memojokan tugas penanganan kontra terorisme di Indonesia. Sepertinya sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap aksi terorisme yang ada itu hanya sebuah rekaan, terutama ketika Densus 88 melakuan aksi preventif. Tetapi sebaliknya, ketika Densus 88 bergerak setelah terjadi kasus terorisme, Densus 88 dihujat atas kecolongannya.
Di tengah pemberitaan Densus 88 yang sepertinya dipojokan itu, Densus 88 pun pernah menerima pujian, atas keberhasilan menangkap pelaku terorisme yang ketika itu benar-benar menampar Indonesia, ketika korban dari aksi terorisme itu sudah dianggap kejahatan kemanusiaan. Keberhasilan Densus 88 sangat diharapkan masyarakat Indonesia.
Ya itu dulu, tetapi sekarang sepertinya pandangan masyarakat sepertinya sudah berubah, terkesan sebagian masyarakat Indonesia mengamini tindakan terorisme. Masyarakat kita tampak munafik dengan hal ini, dan tidak mau terbuka diri memang ada oknum-oknum masyarakat Indonesia yang berusaha mengahalalkan terorisme di negeri ini, dan itu harusnya dilawan bersama, apa pun kepercayaan yang oknum itu anut. Saya menganggap hal ini terjadi karena pandangan negatif masyarakat Indonesia, terutama sebagian masyarakat tertentu yang punya pandangan keyakinan tertentu, yang menganggap Densus 88 adalah alat dari asing (barat), untuk merusak salah satu keyakinan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan latar belakang itu, saya ingin mencoba tahu lebih soal sejarah Densus 88. Mungkin tidak banyak yang akan saya catat, karena keterbatasan saya atas informasi yang ada, karena kebanyakan informasi yang saya peroleh menganggap Densus 88 sebagai pasukan yang tumpang tindih, dan Densus 88 masih dianggap sebagian orang (blogger) dan orang tertentu sebagai organisasi tak profesional, ya karena alasan-alasan klasik “alat barat”. Wajar, itu pendapat masing-masing orang, asalkan tidak merusak keutuhan negara ini dengan pandangan mereka yang seperti itu. Oleh karena itu informasi seputar Densus88 saya peroleh dari Wikipedia saja yang lebih netral.
Densus 88, itulah sebutan yang lebih sering digunakan ketika diberitakan soal aksi kontra terorismenya. Tahukah nama panjangnya? Densus 88 adalah kependekan dari Detasemen Khusus 88, merupakan satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus ini memang dilatih khusus untuk menangani segala bentuk ancaman teror, termasuk teror bom hingga penyanderaan. Beberapa dari anggota Densus 88 merupakan anggota tim Gegana.
Densus 88 Mabes Polri diperkirakan berkekuatan 400 personel, yang terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom) dan unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu (sniper). Di masing-masing kepolisian daerah (Polda) juga memiliki unit antiteror Densus 88 yang beranggotakan 45-75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih terbatas. Fungsinya memeriksa laporan aktivitas teror di daerah; melakukan penangkapan kepada personel atau seseorang atau sekelompok orang yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara Republik Indonesia.
Densus 88 merupakan salah satu dari unit antiteror yang dimiliki Indonesia, selain Detasemen C Gegana Brimob, Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor) TNI AD alias Grup 5 Anti Teror; Detasemen 81 Kopasus TNI AD; Detasemen Jalamangkara (Denjaka) Korps Marinir TNI AL; Detasemen Bravo (Denbravo) TNI AU; dan Satuan Antiteror BIN.
Satuan ini diresmikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Inspektur Jenderal Firman Gani, pada tanggal 26 Agustus 2004. Densus 88 ini awalnya beranggotakan 75 orang, yang dipimpin oleh Ajun Komisaris Besar Polisi Tito Karnavian. Densus 88 dibentuk dengan Skep. Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, untuk melaksanakan Undang Undang No. 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelejen manapun, selama 7 x 24 jam (sesuai pasal 26 dan 28). Undang-undang tersebut populer di dunia sebagai “Anti-Terrorism Act”.
Bahasan kita kini ke soal filosofi dari angka “88”. Angka 88 berasal dari kata ‘ATA (Anti-Terrorism Act)’, yang jika dilafalkan dalam bahasa Inggris erbunti ‘Ei Ti Ekt’. Pelafalan ini kedengaran seperti ‘eighty eight (88)’. Jadi bila ada anggapan bahwa angka ‘88’ itu merupakan representasi dari korban jiwa bom Bali terbanyak yaitu 88 orang warga Australia, dan representasi dari “borgol” yang membentuk angka ‘8 adalah salah’. Ada pula pandangan yang selama ini beredar pandangan di masyarakat bahwa Densus 88 merupakan pasukan buatan asing (barat), dalam rangka niat mereka menumpas suatu keyakinan tertentu, sehingga membuat Densus 88 dianggap tak profesional. Wajar pandangan ini muncul karena memang Densus 88 dibuat dengan atas biaya dari pemerintah USA.
Densus 88 dibiayai oleh pemerintah USA, melalui bagian Jasa Keamanan Diplomatik (Diplomatic Security Service) Departemen Luar Negeri USA. Mengenai pelatihannya sendiri, dilatih oleh instruktur dari CIA, FBI dan U.S. Secret Service. Pengajarnya kebanyakan bekas anggota pasukan khusus USA. Informasi tadi dipandang lain oleh petinggi Polri saat itu yang sebenarnya intinya sama saja. Menurut mereka (petinggi Polri saat itu) terdapat bantuan signifikan dari pemerintah USA dan Australia dalam pembentukan dan operasional Densus 88. Paska pembentukan, Densus 88 dilakukan pula kerja sama dengan beberapa negara lain seperti Inggris dan Jerman.
Soal persenjataan, pasukan Densus 88 dilengkapi persenjataan dan kendaraan tempur, seperti senapan serbu, pistol Colt M4, senapan serb Steyr AUG, HK MP5, senapan penembak jitu Armalite AR-10, shotgun Remington 870. Soal kendaraan tempur, selama ini Densus 88 menggunakan kendaraan sipil untuk melakukan penggerebekan ke sarang teroris. Hal ini untuk menyamarkan operasi agar tidak mudah diketahui.
Sebenarnya bagian inilah (dua paragraf di atas) yang menjadi titik kelemahan Densus 88, ketika dianggap sebagai pasukan khusus bentukan asing, bukan dibentuk atas dasar kebutuhan Polri sendiri, mengingat pada tahun itu, dunia internasional sedang terpukul atas aksi terorisme yang menjadi-jadi. Padahal bila dilihat dari kacamata lain, sebenarnya memang Polri membutuhkan tim ini, mengingat efek paham radikal juga sudah masuk ke Indonesia, dibuktikan dengan kasus-kasus teror yang membuat banyak jatuh korban, dimana keadaan ini jelas merusak citra Indonesia sebagai negara timur yang damai. Jadi menurut saya, selama Polri berjalan sesuai undang-undang yang berlaku, memang sudah seharusnya, jadi disitulah keprofesionalan Polri. Tidak usahlah kita mencampur adukan dengan keyakinan-keyakinan yang “salah”, toh tidak ada paham yang menghalalkan pembantaian atas orang-orang yang tak bersalah. Apabila, sebagian orang itu berpandangan bahwa mereka (negara-negara barat) pun melakukan hal yang sama di suatu negara, ada cara lain untuk meluruskannya, dan bila jalan “radikal” yang dpilih, janganlah lakukan itu di negara ini. Itu sudah cukup jelas, dan tak perlu diperdebatkan. So, do it in your place, don’t in here.
Terorisme di Indonesia ini muncul memang ada banyak hal yang mempengaruhi, dari kesejahteraan masyarakat sampai ke pandangan ideologis yang masyarakat anut. Coba bila melihat daerah-daerah di dunia sana yang tinggi tingkat terorism-nya, kesejahteraan masyarakat secara ekonomi tidak terlalu baik, perut yang kosong membuat mereka mudah dimasuki pandangan-pandangan yang radikal. Tapi kesejahteraan yang baik juga tidak menjamin ada masyarakatnya yang tidak berpandangan radikal. Intinya, penegakan hukum yang tegas harus dilakukan dengan profesional dan tanpa pandang bulu.
Selama ini pandangan mereka yang radikal itu tidak mampu mengkombinasikan hukum dunia dan hukum Tuhan. Intinya seperti itu, jadi ketika ada permasalahan perbedaan pandangan yang prinsipil, hukum di Tuhan dan hukum dunia menjadi tumpang tindih. Padahal, hukum Tuhan itu digunakan untuk memagari hukum dunia, agar tetap sesuai koridor hukum Tuhan. Tuhan menurut keyakinan apapun tidak pernah mengamini kekerasan atau penghilangan nyawa orang dalam bentuk apa pun.
Pandangan saya ini jelas akan dianggap lain oleh masyarakat yang “phobia barat” atau “phobia Israel”, atau yang lebih ekstrim “phobia Yahudi”. Mereka pastinya akan menentang bagaimana pun caranya. Ya inilah yang membuat dunia tidak pernah damai, ketika perbedaan pandangan diselesaikan dengan kekerasan dan perang, diantara dua pihak atau lebih yang bertentangan. Dunia yang penuh kedamaian menjadi cita-cita bersama seluruh warga dunia, namun hal itu bisa terwujud jika warga masing-masing negara di dunia mampu menciptakan kedamaian pula, mengikis pemahaman radikal yang salah. Dan juga hapuskan dunia dari pemaksaan kehendak untuk urusan apapun, karena setiap individu punya kebebasan memilih kehendaknya selama berada dijalur aturan yang berlaku.
Di sini saya mencoba objektif melihat peran Densus 88, ketika memang Densus 88 perlu dikritisi ya lakukan untuk membangun. Tidak ada alasan apapun sebuah lembaga atau organisasi buatan negeri sendiri bisa disetir oleh asing. Hal ini terjadi karena terlalu seringnya bangsa ini bergantung pada bantuan asing. Cobalah untuk lepas dari ketergantunggan asing, “berdikari” bisa jadi pilihan, meski bukan berarti memutus diri dengan pergaulan dengan negara lain. Peace and love in world ;p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar