Sabtu, 06 April 2013

Catatan Pribadi Purna Tugas "Sang Pemimpin"

Ada banyak pengalaman dan kisah yang bisa kuambil selepas ku dari sini. Dibalik itu pun ada rasa kecewa yang juga muncul. Mungkin tidak saya saja yang merasakan hal tersebut, rekan-rekan yang lain pun mengalami hal yang serupa. Pengalaman yang ku peroleh adalah menikmati intrik-intrik pimpinan, pengaruh dan kekuasaan, menghadapi tekanan yang terus-menerus setiap hari, brain storming, tekanan finansial juga dan banyak masalah-masalah eksternal lainnya yang berhubungan langsung dengan pekerjaan.
Pengalaman ironis ketika melihat nasib karyawan bawah tidak diperhatikan, hanya mementingkan nasib serta kepentingan jajaran pimpinan atas saja. Akhirnya yang saya pahami adalah mereka hanya mengamankan posisi mereka saja, dengan memanfaatkan karyawan di bawahnya, tanpa melihat sumber daya yang ada. Selama karyawan bisa diperas untuk diambil patinya, itu akan mereka lakukan, begitulah kira-kira pengibaratannya.
Cukup banyak contoh yang bisa saya jadikan gambaran serta pelajaran. Loyalitas karyawan bertahun-tahun tidak pernah mendapat imbalan yang pantas. Mereka itu hanya diumbar dan dibuai janji manis, sabar-sabar dan sabar. Sepertinya hanya itulah kata-kata yang mereka miliki. Ketika sudah habis kata untuk menjelaskan semuanya, kalimat penutupnya, "Perusahaan tidak mengalami profit, karena biaya untuk membayar kalian itu cukup besar, tanpa didukung keuntungan yang signifikan." Itulah ujung dari semua keluhan karyawan ketika meminta kepastian. Ujung-ujungnya keputusan tetap ada di karyawan, "stay or leave".
Sudah cukuplah mereka yang menjadi korban atas 'loyalitas tak terbalas'. Oleh karena itu berbekal dari apa yang saya amati dan pesan dari mereka yang telah mengalami, membuat keputusan saya kini jadi beralasan. Bukan sekedar atas ketidakcocokan antara si N atau si JS, tetapi soal ekonomi yang "besar pasak daripada tiang".
Saya pernah punya pandangan bahwa "orang yang berada di dalam sistem, tidak akan mampu berpikir realistis melihat suatu permasalahan". Nampaknya apa yang saya utarakan itu benar adanya. Contoh pertama saya bisa lihat dari kinerja dua pemimpin yang berbeda karakter kepemimpinan. Bowo dan Jokowi, merupakan contoh yang saya gunakan untuk mendasari apa yang saya katakan itu. Bowo selama ini sudah berada dalam sistem pemerintahan DKI Jakarta yang dikatakan relatif korup, ketika dia masih menjabat sebagai pejabat daerah, kemudian sampai dia menjadi wakil gubernur kala pimpinan sebelum dirinya menjabat gubernur. Dia sudah cukup lama dan nyaman berada di sistem yang ada, pola permainan, pola kerja dan lain-lain membuatnya nyaman. Namun ketika Bowo menjadi top leader di DKI Jakarta, banyak hal yang tidak bisa dia perbuat maksimal. Permasalahan dengan rakyat sepertinya dibentengi, untuk mau terjun ke akar permasalahan tidak kunjung dilakukan. Itu yang saya anggap tidak realistis, sehingga pada akhirnya kebijakan yang dibuat tidak tepat sasaran. Berbeda dengan Bowo, Jokowi datang dari luar DKI Jakarta, yaitu dari Solo. Berbekal dasar kepemimpinan yang dimiliki ketika memimpin Solo, Jokowi bisa buktikan itu di Jakarta. Meksipun baru sebentar, Jokowi sudah bisa masuk ke hati rakyatnya dengan bagaimana dia bersikap, mau turun ke inti masalah. Di situ Jokowi berpikir realistis terhadap suatu masalah yang ada, karena apa, karena Jokowi berada di luar sistem. Itulah yang membuat dirinya berani menggebrak ibukota dengan cara yang unik, yang akhirnya kini jadi tredsenter calon pimpinan di negeri ini baik di daerah, propinsi, sampai untuk tingkat nasional. Itulah garis besar yang bisa saya paparkan untuk mengaminkan apa yang saya utarakan tadi di awal paragraf.

Kembali ke kalimat yang saya utarakan sebelumnya, yaitu
"orang yang berada di dalam sistem, tidak akan mampu berpikir realistis melihat suatu permasalahan". Yang terjadi adalah mereka (orang-orang dalam sistem) akan memaksakan kehendak yang menguntungkan kepentingan mereka yang ada di dalam sistem tersebut.
Apa yang saya 'pandangkan' itu juga terjadi di mana saya berada ketika berkarya dua tahun kurang. Lebih jelasnya ketika mata saya mulai terbuka dan bisa membaca bagaimana karakter pimpinan yang ada selama ini. Cukup banyak yang datang dan pergi memang, tetapi dari mereka bisa dipelajari bagaimana karakter kepemimpinan mereka.
Di situlah kekecewaan muncul  ketika berada di bawah komando seorang pimpinan yang hanya mementingkan kepentingan segelintir orang saja. Bukan saya saja, tetapi orang-orang lain yang bersinggungan dengan mereka. Bersabar dan bertahan sudah coba dilakukan, hingga titik jenuh tiba. Permasalahan lain muncul membuat titik jenuh semakin jenuh saja, yaitu ekonomi. Apa yang harus saya peroleh sampai saat itu tidak juga terpenuhi, malah semakin hari semakin sulit saja. Bagi saya saja terasa sulit apalagi yang sudah mempunyai 'beban' dipundaknya (alias berkeluarga). Inilah yang saya katakan sebagai realistis. Ketika tekanan-tekanan yang muncul sudah tak sebanding dengan apa yang diharapkan (motif ekonomi), keputusan berat harus diambil, "stay or leave".
Keputusan pribadi tidak berhak orang ikut campur, memberi advice diperbolehkan, namun ketika sudah ada kecenderungan pemaksaan atau brain wash, itu sudah tidak baik. Dan yang terjadi kenyataan memang seperti itu. Mereka inilah yang saya sebut sebagai pimpinan yang tidak realistis, kenapa? Karena mereka berada di dalam sistem. Cara mereka adalah dengan mengumbar petuah-petuah mutiara, kata-kata motivasi bak seorang motivator. Bagi saya, semua itu adalah 'sampah'. Masuk telinga kanan akan keluar telinga kiri, karena apa yang mereka katakan sungguh tak sesuai dengan apa yang mereka lakukan. Bisa juga dibilang "musang berbulu domba", jadi berhati-hatilah. Karena mereka punya misi kepetingan tertentu di dalamnya.
Ada sebuah rangkaian kata yang saya buat karena kekecewaan saya pada orang yang awalnya dianggap panutan seorang atasan yang baik, namun ternyata hanya "relatif baik".
Seiring berjalannya waktu
Ku bisa belajar dari apa yang terjadi
Terjebak dalam konspirasi
Demi mencari keadilan

Mencoba bertahan atas gejolak
Mengadu dan mencari dukungan
Namun yang ku peroleh  hanya lelucon kesabaran
Sampai tiba waktunya hingga jenuh ku tiba

Tak lama memang ku mengenalnya
Yang ku tahu baik adanya
Namun ternyata tiada baik tanpa maksud
Bepertuah tanpa melihat kenyataan
Membuat tak realistis dalam berpaham
Baginya kevokalan dianggap pembangkangan

Kini ku tahu cara mu bermain api
Tak kuduga dibalut nasihat busuk
Lelucon kesabaran yang dilantunkan
Demi memperjuangkan posisi strategis
Sampai melupakan kenyataan
Tak sependapat dianggap musuh  dan harus dibersihkan

Bagai lupa akan dasar
Yang penting dapur sendiri ngebul
Orang lain cukup ditenangkan dengan lelucon kesabaran
Berkata bak malaikat padahal busuk adanya

Dia tahu siapa kami,
Kami pun tahu siapa dia
Bak kacang lupa kulit
Cukup sudah jalinan teman terjadi

Roda berputar
Bila waktunya tiba, ku ingin lihat penyesalanmu
Di balik muka tegarmu
Ingin ku lihat manfaat lelucon motivasi "sabar dan sabar"


Apa yang kutulis diatas adalah benar-benar sebuah kekecewaan yang selama ini ada. Karena lelah semuanya lebih mudah terucap, ditambah apa yang dia buat rupanya membuat semuanya jadi sulit. Ternyata menjadi seorang pimpinan yang baik itu sulit, tidak semua orang bisa melakukannya. Jadi bagi kita yang ingin mencapai tahap itu, banyaklah belajar dan merintisnya dari bawah, dimulai dari masa-masa dimana kita ditindas dan bisa merdeka. Tapi kembali untuk diajak tak lupa saat sebelum kita diatas, jadi jangan sampai jika waktunya tiba duduk di atas, kita lupa bahwa dulu pernah di bawah dan menuntut keadilan. [(^_^)]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar